Jika diteliti, jejak perjuangan Kartini adalah perjuangan agar perempuan Indonesia bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Bukan perjuangan untuk emansipasi di segala bidang. Kartini menyadari, perempuan memiliki peran penting dalam kehidupan.Agar dapat menjalankan perannya dengan baik, perempuan harus mendapat pendidikan yang baik pula.
Dalam sebuah suratnya, kepada Prof. Anton dan Nyonya pada 4 Oktober 1902 Kartini menulis, ‘Kami
di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan,
bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu
menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami
yakin
akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”.
akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”.
Atas kesadaran tersebut, Kartini berniat melanjutkan sekolah ke Belanda, Aku
mau meneruskan pendidikanku ke Holland, karena Holland akan menyiapkan
aku lebih baik untuk tugas besar yang telah kupilih” (Surat Kartini
kepada Ny. Ovink Soer, 1900). Waktu itu, Kartini beranggapan bahwa Eropa adalah tempat peradaban tertinggi dan paling sempurna di muka bumi.Namun,
rencana itu tak pernah berhasil.Kartini hanya mendapat kesempatan
menempuh sekolah guru di Betawi.Kesempatann ini pun batal dijalaninya
karena dia harus menikah dengan R.M.A.A. Singgih Djojo Adhiningrat.
Walaupun awalnya banyak menentang adat
Jawa yang kaku dan kebiasaan bangsawannya berpoligami, Kartini menerima
pernikahan tersebut. Ada sebuah kesadaran di benaknya, dengan menikah
dia akan berkesempatan untuk mendirikan sekolah bagi perempuan bumiputra.
Alasan ini masuk akal karena suaminya adalah seorang bupati yang
berkuasa dan mengizinkan bahkan mendukungnya untuk mendirikan sekolah.
Keputusan yang luar biasa dari seorang pahlawan sejati.
Pada hari pernikahannya, seorang ustad
dari Semarang, Haji Mohammad Sholeh bin Umar, menghadiahkan beberapa juz
al-Quran berbahasa Jawa. Kegelisahan Kartini terhadap agama Islam pun
terjawab.Sebelumnya, dalam kehidupan sehari-harinya Kartini hanya
diajarkan membaca al-Quran tanpa diizinkan untuk mengetahui artinya.
Setelah mempelajari al-Quran, pandangan Kartini terhadap beberapa hal pun berubah.Di antaranya, pandangannya terhadap peradaban Eropa, “…,
tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar
satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi
apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah
ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu
terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai
peradaban?” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902). Pandangan Kartini terhadap poligami pun berganti, jika awalnya menentang, setelah mengenal ajaran Islam dia menerimanya.
Sayangnya, Haji Mohammad Sholeh meninggal
sebelum sempat menyelesaikan seluruh terjemahan al-Quran untuk
Kartini. Kartini pun hanya mempelajari beberapa jus terjemahan
tersebut. Jika saja dia sempat mempelajari keseluruhan Al Quran, tidak
mustahil ia akan menerapkan semua kandungannya. Kartini berani berbeda
dengan tradisi adatnya yang mapan, dia juga memiliki ketaatan yang
tinggi terhadap ajaran Islam. Bukunya yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terangmina dulumati ila nuur. Kartini menyadari bahwa sumber pendidikan terbaik justru ada di dekatnya, yaitu Al-Quran, bukan di Eropa.pun terinspirasi dari Surat Al-Baqarah ayat 193:
13 Septembar 1904, Kartini meninggal pada
usia yang masih muda, 25 tahun dan dimakamkan di Rembang. Untuk
menghormatinya, Van Deventer, seorang tokoh politik Etis, mendirikan
Yayasan Kartini (1912). Yayasan tersebut bertugas mengelola “Sekolah
Kartini” yang didirikan di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang,
Madiun, Cirebon, dan daerah lainnya.
2. RA. Dewi Sartika (1884-1947):
Dewi Sartika dilahirkan di keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dengan Raden Somanagara.Meskipun bertentangan dengan adat waktu itu, ayah-ibunya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika di sekolah Belanda.Setelah ayahnya wafat, Dewi Sartika diasuh oleh pamannya (kakah ibunya) yang menjadi patih di Cicalengka. Oleh pamannya itu, ia mendapatkan pengetahuan mengenai kebudayaan Sunda, sementara wawasan kebudayaan Barat didapatkannya dari seorang nyonya Asisten Residen berkebangsaan Belanda.
Dewi Sartika dilahirkan di keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dengan Raden Somanagara.Meskipun bertentangan dengan adat waktu itu, ayah-ibunya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika di sekolah Belanda.Setelah ayahnya wafat, Dewi Sartika diasuh oleh pamannya (kakah ibunya) yang menjadi patih di Cicalengka. Oleh pamannya itu, ia mendapatkan pengetahuan mengenai kebudayaan Sunda, sementara wawasan kebudayaan Barat didapatkannya dari seorang nyonya Asisten Residen berkebangsaan Belanda.
Sedari kecil , Dewi Sartika sudah
menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil
bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik
di sekolah, belajar baca-tulis, dan bahasa Belanda,
kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta,
arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.
Waktu itu, Dewi Sartika baru berumur
sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan
baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan
oleh anak-anak pembantu kepatihan.Gempar, karena waktu itu belum ada
anak (apalagi anak rakyat jelata) yang memiliki kemampuan seperti itu,
dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.
Setelah remaja, Dewi Sartika kembali lagi
kepada ibunya di Bandung.Jiwanya yang telah dewasa semakin
menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh
pamannya, Bupati Martanagara, yang memang memiliki keinginan yang sama.
Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak
menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang
mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami
kesulitan dan khawatir.Namun
karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi
Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk
perempuan.
Tahun 1906,
Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, beliau
memiliki visi dan cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika, guru di
sekolah Karang Pamulang, yang saat itu merupakan sekolah Latihan Guru.
Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan.Di
sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika
mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda,
memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis dan sebagainya, menjadi materi
pelajaran saat itu
Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang : Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi.Oewid.Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.
Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau.
Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya,
serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar
pada tahun 1909, bahasa sundabisa lebih mememenuhi syarat kelengkapan sekolah formal.
Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan
beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan
Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah
berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari
seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah
Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum
memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini
menyeberang ke Bukittinggi,
di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh
wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota
kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.
Bulan September 1929,
Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah
berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi “Sakola Raden
Déwi”. Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang
jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon – Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar